Letnan Abu Nawaz dan 14 anak buahnya hanya berdiri terpaku di depan
Masjid Jami yang terletak di Jalan Serdang, Medan tersebut. Mereka sama
sekali tak menyangka, basis musuh yang harus dihancurkan menurut Letnan
Kolonel Loudly ternyata adalah sebuah masjid, tempat ibadah umat Islam
yang juga menjadi agama mereka. Alih-alih melaksanakan perintah
atasannya itu, opsir British Indian Army (BIA) tersebut malah memilih
balik badan dan membelot ke kubu musuh: para pejuang Indonesia.
"Penghancuran Masjid itu kemudian dilakukan oleh pasukan Inggris yang
lain…"ujar Muhammad TWH, wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah di
Medan.
Aksi pembelotan personil BIA yang beragama Islam itu ternyata tidak
hanya terjadi di Medan saja. Di Surabaya, Kopral Mir Khan mengaku kerap
galau setiap ia berkesempatan berhadapan dengan pejuang-pejuang
Indonesia yang selalu meneriakan kata “Allahu Akbar". Hal yang sama juga
dirasakan oleh prajurit muslim BIA lainnya di palagan Surabaya.
Kegalauan itulah yang kemudian membuat mereka nekat untuk membelot
(desersi) dan bergabung dengan para pejuang. Menurut catatan sumber Inggris, sekitar 300 serdadu muslim India diperkirakan membelot dan bergabung dengan para pejuang Surabaya.
"Secara keseluruhan tentara-tentara Inggris Muslim asal Asia Selatan(
India/Pakistan) yang membelot ke pihak Indonesia diperkirakan mencapai
angka 600-an…"tulis Firdaus Syam dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi
Kemerdekaan Indonesia.
Berbeda dengan kawan-kawannya yang di wilayah lain, para pembelot di
wilayah Medan yang berjumlah 71 prajurit memang lebih kompak dan
terorganisasi. Jika di tempat lain, mantan-mantan serdadu BIA tersebar
ke beberapa kesatuan TNI dan Lasykar maka di Medan mereka justru
mendirikan kesatuan sendiri. Namanya Kesatuan Abdul Sattar (lebih
dikenal sebagai Young Sattar) pimpinan Mayor Abdul Sattar dan masuk
dalam Resimen III Divis X Batalyon I.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka banyak dilibatkan dalam berbagai
operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga
bantuan latih sekaligus petempur, Kesatuan Young Sattar pernah
mengirimkan 17 anggota ke palagan Aceh. Diantaranya adalah prajurit yang
bernama John Edward (lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris), dan
Chandra, yang karena kelihaian dalam beretorika lalu didapuk menjadi
penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya masing-masing untuk program bahasa
Inggris dan bahasa Urdhu (India). "Mereka pada akhirnya gugur ditembak
Belanda,"ujar Muhammad TWH.
Saat Muhammad Hatta melakukan muhibah ke Sumatera pada awal 1948, sisa
15 prajurit dari Kesatuan Young Sattar tersebut mendapat tugas untuk
mengawal Wakil Presiden pertama RI itu saat berkunjung ke Pematang
Siantar. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer
Belanda kemudian datang menyerang. Terjadilah pertempuran hebat hingga
para prajurit dari Asia Selatan itu kehabisan amunisi. Kendati posisi
mereka sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru
mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan
prajurit-prajurit Belanda. Pada akhirnya, mereka semua tewas diberondong
senjata militer Belanda. "Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang
Siantar, namun beberapa waktu lalu kerangka-kerangka itu dipindahkan ke
Makam Pahlawan Medan,"kata Muhammad TWH.
Lalu bagaimana nasib 37 patriot pembelot lainnya? Tak jelas benar memang
kabar mereka, namun sebagian mantan pejuang di Medan menyatakan
sebagian mereka menikah dan hidup layaknya orang Medan dan sebagian lain
memilih pulang kembali ke negaranya Pakistan yang saat itu baru
beberapa tahun menyatakan kemerdekannya sebagai bangsa yang mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar