Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta, Presiden Soekarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di Paris. Saat itu Soekarno ingin membangun sebuah monumen di lapangan tepat depan Istana Merdeka.
Pembangunan monumen bertujuan mengenang perjuangan bangsa Indonesia pada
masa revolusi kemerdekaan 1945. Dengan adanya monumen itu, Soekarno berharap bisa terus membangkitkan semangat patriotisme generasi yang akan datang.
Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan
sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Saat itu
terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat
oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite,
antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan
selama berabad-abad.
Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun
dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta
Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Presiden Soekarno. Tapi saat itu Bung Karno kurang sreg dengan rancangan Silaban. Soekarno berharap monumen itu berbentuk lingga dan yoni.
Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan
tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga
biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara,
terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban lalu menolak
merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda
hingga ekonomi Indonesia membaik.
Soekarno yang tidak suka menunggu lalu meminta arsitek RM Soedarsono untuk melanjutkan rancangan Silaban. Lalu Soekarno
mengeluarkan keputusan Presiden RI Nomor 214 Tahun 1959 tanggal 30
Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional yang diketuai
oleh Kolonel Umar Wirahadikusumah, Komandan KMKB Jakarta Raya.
Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945
memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen
itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80
hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan RM Soedarsono,
dan mulai dibangun pada 17 Agustus 1961.
Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir Rooseno. Pada tanggal 12 Juli 1975, Monas resmi dibuka untuk umum.
Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.
Sebuah elevator (lift) juga dibangun pada pintu sisi selatan untuk
membawa pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di
ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11
orang sekali angkut.
Pelataran puncak Monas dapat menampung sekitar 50 orang,
serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada
sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari
besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat
menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Bahkan bila kondisi
cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan
Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara
membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.
Di puncak Monas terdapat cawan yang menopang nyala lampu
perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram.
Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6
meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang
ingin meraih kemerdekaan. Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi
lembaran emas seberat 35 kilogram, akan tetapi untuk menyambut perayaan
setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran
emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran
emas.
Puncak tugu berupa 'Api Nan Tak Kunjung Padam' yang bermakna agar Bangsa
Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam
berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa.
Namun puncak Monas itu bukan sekadar berbentuk lidah api biasa. Konon lidah api di puncak Monas tersebut menggambarkan sesosok perempuan yang sedang duduk bersimpuh dengan gerai rambutnya yang panjang. Rambut atasnya disimpul seperti sanggul kecil. Duduk menghadap langsung ke Istana Negara.
Namun sosok wanita di lidah api Monas tersebut hanya bisa dilihat dari sisi sebelah kiri Monas
atau di Jalan Medan Merdeka Barat sebelah utara, dekat dengan Istana
Presiden. Patung sesosok perempuan itu sengaja dibuat dengan
sebaik-baiknya agar orang yang melihatnya tidak mengetahuinya secara
langsung.
Banyak yang menganggap bahwa sosok wanita dalam lidah api Monas adalah salah satu ide Soekarno. Sosok wanita dalam lidah api Monas itu sering dipandangi Soekarno dari Istana Merdeka.
Hingga kini sosok wanita di puncak Monas itu pun masih misterius. Siapa sebenarnya wanita yang diukir dalam puncak Monas itu? sumber: http://www.merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar