CERITA REMAJA
Aku
terlahir bukan dari kalangan keluarga kaya, bukan dari keluarga yang
memiliki banyak uang. Bisa dibilang keluarga kami ini adalah keluarga
tak mampu. Ayahku hanya seorang lulusan SMA yang tidak memiliki
pekerjaan tetap dan ibuku adalah seorang pembantu rumah tangga. Hidupku
tidak seberuntung anak-anak lainnya yang terlahir dari keluarga
berlimpah harta, yang bisa memiliki apapun seperti yang mereka ingin.
Ayah dan ibuku memang tak memiliki banyak uang untukku, tapi mereka
memiliki banyak kasih dan sayang, yang selalu mereka berikan untukku.
Sama seperti orang tua yang lainnya, mereka ingin aku kelak menjadi
orang sukses dan memiliki kebahagiaan yang tidak pernah mereka rasakan.
Keluarga
kami memang begitu kesulitan dengan masalah ekonomi, tapi itu bukan
sebuah alasan bagi orang tuaku untuk tidak memberikanku pendidikan.
Ketika aku berumur 5 tahun mereka menyekolahkanku di sebuah Taman
Kanak-kanak yang tak jauh dari rumah. Tak sama dengan teman-teman
seusiaku, aku tak pernah diantar atau bahkan ditemani saat aku belajar
di sekolah. Aku selalu sendiri saat berangkat ataupun pulang, hanya saja
terkadang ada orang tua temanku yang mau mengantarkanku pulang. Saat
ada acara-acara di luar sekolah aku pun selalu sendiri, tanpa ditemani
ayah ataupun ibu.
Aku
jarang mendapatkan uang saku dari ibu, ketika yang lain berlarian
menuju penjual jajan aku hanya bisa melihat mereka, tanpa bisa merasakan
hal yang sama. Ketika mereka dengan lahapnya memakan jajan, aku hanya
bisa menelan ludah. Tapi guruku begitu baik, saat beliau melihatku
berdiam diri tanpa memakan apapun aku selalu diberinya makanan ringan
atau bahkan uang.
“Eva, kenapa kamu tidak jajan?” tanya seorang guru yang menghampiriku.
“Tidak Bu, saya tidak diberi uang saku,” jawabku dengan air mata yang menetes.
“Nah,
ini Ibu punya sedikit uang, sekarang Eva jajan ya,” ucapnya dengan
penuh kelembutan. Aku hanya menerima saja pemberian guruku dan berucap
terima kasih tanpa berpikir malu untuk menerimanya.
Aku cukup sadar diri dengan semua keadaan ini. Mungkin jika orang tuaku
adalah orang kaya aku bisa jajan semauku tanpa harus diberi orang lain.
Aku juga takkan seorang diri saat berangkat atau pulang sekolah, dan
yang pasti ibuku takkan bersusah payah berangkat subuh pulang maghrib
hanya untuk mencari uang.
Setiap aku pulang sekolah, keadaan rumah selalu kosong, tak ada orang
dan tak ada juga makanan yang bisa mengganjal perut kosongku. Ibu tak
sempat memasak sebelum berangkat kerja, ia membuatkanku makanan ketika
ia pulang kerja. Terkadang tetanggaku yang baik hati memberiku nasi dan
lauk untuk makan siangku.
Aku
selalu ikut ibuku bekerja saat hari libur tiba. Mungkin ini menambah
beban ibuku, tapi kuanggap inilah liburanku bersama ibu. Meski harus
berjalan berkilo-kilo meter menuju rumah majikan ibuku, menemani ibu
bekerja hingga matahari terbenam, aku tak pernah merasa lelah karena ini
adalah bahagiaku, bahagiaku saat aku bisa bersama ibuku.
“Sayang,
apa kamu tidak lelah, apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja bermain
dengan teman-temanmu?” tanya ibu sembari mengelus rambutku.
“Tidak Bu, Eva lebih suka menemani Ibu.”
“Tapi kan Eva jadi lelah, harus bangun pagi, berjalan jauh dan pulang sore.”
“Tidak apa-apa, Bu,” jawabku dengan tersenyum
“Maafkan Ibu, ya Nak. Karena Ibu kamu juga ikut hidup menderita seperti ini,” ucap ibuku yang sedikit meneteskan air mata.
*****
“Ha.. ha… ha… ada kelas TK nyasar ke SD,” kata salah satu temanku.
“Iya, kenapa ada anak TK di sini ya?! Haha…” sahut salah seorang yang baru masuk.
Itulah
kata-kata ejekan dari mereka saat hari pertamaku duduk di kelas 1 SD.
Wajar mereka mengejekku seperti itu, aku masih mengenakan seragam TK
yang sudah kusut, sedangkan teman yang lain mengenakan pakaian, tas, dan
sepatu baru. Mendengar ejekan-ejekan mereka semua aku hanya bisa
menangis tersedu tanpa ada yang menghampiriku.
“Assaalamu’alaikum anak-anak…” ucap seorang guru yang baru masuk.
“Wa’alaikum salam, Bu…” jawab kami serentak.
“Eva, kamu kenapa menangis?” tanya ibu guru kepadaku.
Aku tak bersuara sedikitpun, aku hanya diam dan menangis.
“Eva
diejek teman-teman yang lain karena Eva masih mengenakan baju TK, dia
belum punya seragam SD, Bu…” jawab seorang murid di pojok depan.
“Sudahlah Eva, tidak apa-apa, jangan menangis ya,” ucapnya untuk menenangkanku.
Esok
harinya ada seorang wali murid yang datang menghampiriku, ia
memberikanku seragam SD bekas, meski bekas tapi ini masih layak pakai.
“Alhamdulillaah,
aku dapat rezeki, jadi aku tak perlu menambah beban ayah dan ibuku
untuk dibelikan pakaian baru,” kataku dalam hati sembari tersenyum.
*****
Tiga tahun berlalu, sekarang aku duduk di kelas 4 SD. Hari-hariku tetap
sama dengan yang sebelumnya tak ada yang berbeda dan tak ada yang lebih
istimewa. Ibuku masih bekerja menjadi seorang pembantu dengan bekerja
dari matahari mulai nampak hingga matahari terbenam diujung barat,
sedangkan ayahku lebih sering di rumah karena tak memiliki pekerjaan.
Setiap malam ibuku yang sudah terlalu lelah itu masih sempat menemani
ku belajar, dan membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setiap malam
menjelang tidur kakiku dipijit, rambutku dielus, pipiku dicium, dan ia
selalu menyanyikan lagu untukku sebagai pengantar tidur. Pagi ketika aku
akan berangkat sekolah ia sempatkan sedikit waktunya untuk mengucir
rambut panjangku. Aku tahu bahwa beliau sangat menyayangiku. Begitupun
aku, aku sangat menyayanginya lebih dari aku menyayangi ayah.
Tak seperti biasanya, malam ini aku belajar ditemani ayah karena ibu
belum pulang juga, padahal jam sudah menunjukan pukul 20.00 WIB.
“Assalamu’alaikum…” ucap ibu yang baru masuk rumah.
“Wa’alaikumussalam…” jawab kami serentak.
“Lho ibu, kenapa jam segini baru pulang?” tanya ayah.
“Iya, tadi keluarga besar majikan ibu datang, jadi ibu pulangnya agak kemalaman,” jawab ibuku dengan lemas.
“Wajah ibu terlihat pucat?!” tanyaku dengan penuh perhatian.
“Mungkin ibu hanya lelah, Nak…” jawab ibuku dengan senyum kecil di bibirnya.
“Ya sudah, kita tidur dulu, ini sudah malam,” ucap ayah sembari merapikan buku-buku pelajaran milikku.
Akhirnya
kami bertiga beranjak masuk ke kamar untuk beristirahat. Aku masih
tidur dengan ayah dan ibuku, tidur di antara mereka begitu terasa
hangat. Aku yang sudah mulai terlelap samar-samar mendengarkan
percakapan mereka.
“Yah, ini di leher ibu ada benjolan kecil, tapi kok agak sakit ya?” tanya ibuku sembari memegang leher bagaian kirinya.
“Mungkin itu gondong*) Bu.”
“Iya, mungkin juga sih Yah.”
“Coba besok kerumahnya mbah Karso, biasanya dia bisa menyembuhkan gondong, ya sudah sekarang tidur saja,” ucap ayah.
Keesokan
harinya ibuku tidak berangkat bekerja karena badannya kurang sehat.
Seperti yang disarankan ayah, ibu datang kerumah mbah Karso. Mbah Karso
ini adalah tetanggaku, dia bukan seorang dukun atau orang pinter yang
biasa berhubungan dengan dunia ghaib, dia hanya seorang kakek biasa yang
memiliki kelebihan menyembuhkan penyakit gondong denagan cara
tradisional.
Setelah
satu minggu berlalu sakit dileher ibuku makin menjadi,
benjolan-benjolan kecilnyapun masih tetap ada. Akhirnya ayah
mengantarkan ibu ke puskesmas terdekat.
“Pak
sebaiknya istri anda dibawa ke rumah sakit saja, karena kami tidak
begitu paham dengan penyakit istri Anda ini, kami masih ragu,” ucap
seorang dokter.
Ayah mengikuti saran dokter itu untuk membawa ibu ke rumah sakit.
“Benjolan pada leher istri bapak ini adalah tumor,” kata seorang dokter yang memeriksa ibuku
“Innalillahii,” ucap ayah dengan kagetnya.
Ibu hanya menangis saat dokter mengatakan hal itu.
“Lalu apa ini bisa disembuhkan, Dok…?”
“Insya Allah
bisa, ada dua cara untuk berusaha menyembuhkannya. Yang pertama adalah
operasi pengangkatan tumor, dan yang kedua adalah dengan melakukan
terapi, yaitu dengan di laser agar tumor tersebut bisa mati dan tidak
tumbuh semakin banyak,” terang dokter itu.
“Lalu berapa biayanya, Dok?!”
“Untuk operasi sekitar 30 sampai 40 juta, sedangkan untuk laser biayanya 5 juta tiap terapi dan ini dilakukan sebanyak 15 kali.”
Ayah dan ibu pulang ke rumah dengan keadaan lemas, aku belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Aku bertanya pada ibu, tapi ia hanya menangis,
aku tak berani bertanya lagi. Sorenya ayah menjelaskan kepadaku tentang
apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Mendengar penjelasan ayah aku pun
hanya bisa menangis tersedu.
“Cobaan apa lagi ini? Kami sudah cukup susah dengan hidup miskin,
sekarang Allah menambah beban ini dengan penyakit yang diderita
istriku,” kata ayah sambil menangis.
“Mungkin Allah terlalu sayang dengan kita yah, sabar saja, pasti akan
ada jalan keluarnya dari masalah ini,” jawab ibu yang juga menangis.
*****
Selama tiga bulan ini ibu hanya mengonsumsi obat-obatan yang dibeli di
apotek untuk menahan rasa sakitnya. Aku tak tega setiap melihat ibu
menangis kesakitan saat penyakitnya kambuh. Sebenarnya kami ingin ibu di
operasi, tapi apa daya, kami tak akan mampu mencari uang sebanyak itu
dalam waktu singkat. Ayahku hanya lontang-lantung tak pernah pulang
membawa uang.
Semakin lama penyakit ibu semakin parah. Hanya obat-obatan yang
dijadikan penahan rasa sakitnya untuk sementara. Obat-obatan yang dibeli
inipun cukup menghabiskan banyak uang, ayah yang tak memiliki uang
terpaksa pinjam sana-sini untuk membeli obat ibu.
Orang tua ibu adalah orang yang cukup kaya, mereka memiliki banyak
uang, sehingga mereka ingin ibu dibawa pulang ke Jogja agar mereka bisa
merawat ibu dengan layak. Tapi ayah tak menyetujuinya, ayah berjanji
membawa ibu kerumah sakit untuk di operasi. Dengan uang hasil pinjaman
akhirnya ibu dioperasi juga.
Keadaan ibu setelah di operasi masih sama, tak ada perubahan. Karena
kondisi ibu yang masih sama seperti dulu, akhirnya ayah membawa ibu ke
rumah sakit untuk di periksa. Ayah dan ibuku kembali terkejut saat
dokter mengatakan bahwa tumor yang ada pada leher ibu belum semuanya
terangkat, bahkan tumor itu sekarang tumbuh semakin banyak. Ia
menyarankan agar ibu kembali di operasi.
Ayah tak mampu lagi membiayai pengobatan ibu, ia tak memiliki pilihan
lain selain mengizinkan mertuanya membawa ibu ke Jogja untuk berobat.
Memang berat bagi kami untuk berpisah dengan ibu, meski ini hanya
sementara. Tapi tak mengapa jika ini adalah jalan terbaik yang Allah
berikan untuk kesembuhan ibu.
Sudah enam bulan lamanya ibu di sana, aku dan ayah baru mengunjunginya
tiga kali. Saat kami berkunjung kesana keadaan ibu tidak tentu,
adakalanya ia biasa saja seperti orang sehat, tapi terkadang ia juga
mengis kesakitan. Nenek dan kakek tidak hanya membawa ibu berobat ke
rumah sakit, tapi mereka juga mencari pengobatan alternatif untuk ibu.
Tapi hasilnya nihil, sakit ibu tak kunjung sembuh.
Terakhir aku berkunjung ke Jogja ibu mengajakku berjalan-jalan dengan
ayah, kakek, nenek dan keluarga besar di sana. Sepertinya ibu sangat
bahagia saat bersama kami, ini terlihat dari senyumnya. Meski ia sedang
sakit tapi ia tak menunjukan sakitnya di depanku, mungkin ia tak ingin
melihatku bersedih.
Seperti biasa, saat aku akan pulang ke Pekalongan ibu mengecup keningku sembari mengelus rambutku yang terurai panjang.
“Nak, kamu belajarnya yang rajin ya, jangan jadi anak pemalas, harus
jadi pekerja keras. Kamu harus nurut apa kata ayah, dan jangan jadi anak
manja,” kata ibu lembut yang meneteskan air mata sembari mengelus
rambutku.
“Iya Bu, Eva akan belajar giat, supaya bisa jadi orang sukses dan bisa membahagiakan ayah dan ibu,” kataku sammbil menatap ibu.
Hampir satu tahun ibu di sana dan sudah enam bulan aku tak menjenguk
ibu ke Jogja, kami hanya berkomunikasi lewat telepon seluler. Setiap
kali aku bertanya pada ibu tentang keadaannya pasti ia selalu menjawab
bahwa ia baik-baik saja. Tapi setiap hari ayah selalu gelisah setelah
mendapat kabar dari keluarga di sana. Entah apa yang sebenarnya terjadi,
tak ada yang mau berbicara jujur padaku.
*****
Esok aku ada kegiatan perkemahan, ini adalah kemah pertamaku dan aku
terpilih menjadi ketua regunya. Ini cukup membuatku bahagia. Saat aku
sedang mempersiapkan peralatan kemahku tiba-tiba ayah mengajaku untuk ke
Jogja, katanya Ibu sangat merindukanku. Sehabis shalat maghrib kami
langsung menuju ke Jogja. Larut malam kami sampai di sana. Setiba di
sana ayah langsung menangis di depan sebuah keranda yang diletakkan
diteras masjid. Aku tak tau apa-apa, ku ikuti langkah ayah perlahan,
melihat siapa yang ada dalam keranda itu. Saat keranda di buka ternyata
itu adalah ibuku. Ia sudah terbungkus kafan dengan rapi, wajahnya
terlihat sangat cantik dengan senyumnya.
Tak ada yang bisa kuperbuat. Menangis… menangis… dan terus menangis…!
Hanya itu yang aku lakukan di depan jenazah ibuku. Aku tak percaya kini
ibuku telah tiada, Allah begitu menyayanginya Ia membawa ibu pulang
kesisinya, mungkin karena Ia tak ingin melihat ibuku menderita. Enam
bulan lalu, adalah hari terakhirku bersama ibu. Dan kecupan itu, adalah
kecupan terakhir untukku. (*)
Kosa kata:gondong : sejenis benjolan (bengkak) di sekitar leher, terasa pegal dan nyeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar