Minggu, 02 Juni 2013

 CERITA REMAJA

Aku terlahir bukan dari kalangan keluarga kaya, bukan dari keluarga yang memiliki banyak uang. Bisa dibilang keluarga kami ini adalah keluarga tak mampu. Ayahku hanya seorang lulusan SMA yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan ibuku adalah seorang pembantu rumah tangga. Hidupku tidak seberuntung anak-anak lainnya yang terlahir dari keluarga berlimpah harta, yang bisa memiliki apapun seperti yang mereka ingin. Ayah dan ibuku memang tak memiliki banyak uang untukku, tapi mereka memiliki banyak kasih dan sayang, yang selalu mereka berikan untukku. Sama seperti orang tua yang lainnya, mereka ingin aku kelak menjadi orang sukses dan memiliki kebahagiaan yang tidak pernah mereka rasakan.
Keluarga kami memang begitu kesulitan dengan masalah ekonomi, tapi itu bukan sebuah alasan bagi orang tuaku untuk tidak memberikanku pendidikan. Ketika aku berumur 5 tahun mereka menyekolahkanku di sebuah Taman Kanak-kanak yang tak jauh dari rumah. Tak sama dengan teman-teman seusiaku, aku tak pernah diantar atau bahkan ditemani saat aku belajar di sekolah. Aku selalu sendiri saat berangkat ataupun pulang, hanya saja terkadang ada orang tua temanku yang mau mengantarkanku pulang. Saat ada acara-acara di luar sekolah aku pun selalu sendiri, tanpa ditemani ayah ataupun ibu.
Aku jarang mendapatkan uang saku dari ibu, ketika yang lain berlarian menuju penjual jajan aku hanya bisa melihat mereka, tanpa bisa merasakan hal yang sama. Ketika mereka dengan lahapnya memakan jajan, aku hanya bisa menelan ludah. Tapi guruku begitu baik, saat beliau melihatku berdiam diri tanpa memakan apapun aku selalu diberinya makanan ringan atau bahkan uang.
“Eva, kenapa kamu tidak jajan?” tanya seorang guru yang menghampiriku.
Tidak Bu, saya tidak diberi uang saku,” jawabku dengan air mata yang menetes.
Nah, ini Ibu punya sedikit uang, sekarang Eva jajan ya,” ucapnya dengan penuh kelembutan. Aku hanya menerima saja pemberian guruku dan berucap terima kasih tanpa berpikir malu untuk menerimanya.
Aku cukup sadar diri dengan semua keadaan ini. Mungkin jika orang tuaku adalah orang kaya aku bisa jajan semauku tanpa harus diberi orang lain. Aku juga takkan seorang diri saat berangkat atau pulang sekolah, dan yang pasti ibuku takkan bersusah payah berangkat subuh pulang maghrib hanya untuk mencari uang.
Setiap aku pulang sekolah, keadaan rumah selalu kosong, tak ada orang dan tak ada juga makanan yang bisa mengganjal perut kosongku. Ibu tak sempat memasak sebelum berangkat kerja, ia membuatkanku makanan ketika ia pulang kerja. Terkadang tetanggaku yang baik hati memberiku nasi dan lauk untuk makan siangku.
Aku selalu ikut ibuku bekerja saat hari libur tiba. Mungkin ini menambah beban ibuku, tapi kuanggap inilah liburanku bersama ibu. Meski harus berjalan berkilo-kilo meter menuju rumah majikan ibuku, menemani ibu bekerja hingga matahari terbenam, aku tak pernah merasa lelah karena ini adalah bahagiaku, bahagiaku saat aku bisa bersama ibuku.
Sayang, apa kamu tidak lelah, apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja bermain dengan teman-temanmu?” tanya ibu sembari mengelus rambutku.
Tidak Bu, Eva lebih suka menemani Ibu.”
Tapi kan Eva jadi lelah, harus bangun pagi, berjalan jauh dan pulang sore.”
Tidak apa-apa, Bu,” jawabku dengan tersenyum
Maafkan Ibu, ya Nak. Karena Ibu kamu juga ikut hidup menderita seperti ini,” ucap ibuku yang sedikit meneteskan air mata.
*****
“Ha.. ha… ha… ada kelas TK nyasar ke SD,” kata salah satu temanku.
“Iya, kenapa ada anak TK di sini ya?! Haha…” sahut salah seorang yang baru masuk.
Itulah kata-kata ejekan dari mereka saat hari pertamaku duduk di kelas 1 SD. Wajar mereka mengejekku seperti itu, aku masih mengenakan seragam TK yang sudah kusut, sedangkan teman yang lain mengenakan pakaian, tas, dan sepatu baru. Mendengar ejekan-ejekan mereka semua aku hanya bisa menangis tersedu tanpa ada yang menghampiriku.
Assaalamu’alaikum anak-anak…” ucap seorang guru yang baru masuk.
Wa’alaikum salam, Bu…” jawab kami serentak.
Eva, kamu kenapa menangis?” tanya ibu guru kepadaku.
Aku tak bersuara sedikitpun, aku hanya diam dan menangis.
Eva diejek teman-teman yang lain karena Eva masih mengenakan baju TK, dia belum punya seragam SD, Bu…” jawab seorang murid di pojok depan.
Sudahlah Eva, tidak apa-apa, jangan menangis ya,” ucapnya untuk menenangkanku.
Esok harinya ada seorang wali murid yang datang menghampiriku, ia memberikanku seragam SD bekas, meski bekas tapi ini masih layak pakai.
Alhamdulillaah, aku dapat rezeki, jadi aku tak perlu menambah beban ayah dan ibuku untuk dibelikan pakaian baru,” kataku dalam hati sembari tersenyum.
*****
Tiga tahun berlalu, sekarang aku duduk di kelas 4 SD. Hari-hariku tetap sama dengan yang sebelumnya tak ada yang berbeda dan tak ada yang lebih istimewa. Ibuku masih bekerja menjadi seorang pembantu dengan bekerja dari matahari mulai nampak hingga matahari terbenam diujung barat, sedangkan ayahku lebih sering di rumah karena tak memiliki pekerjaan.
Setiap malam ibuku yang sudah terlalu lelah itu masih sempat menemani ku belajar, dan membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setiap malam menjelang tidur kakiku dipijit, rambutku dielus, pipiku dicium, dan ia selalu menyanyikan lagu untukku sebagai pengantar tidur. Pagi ketika aku akan berangkat sekolah ia sempatkan sedikit waktunya untuk mengucir rambut panjangku. Aku tahu bahwa beliau sangat menyayangiku. Begitupun aku, aku sangat menyayanginya lebih dari aku menyayangi ayah.
Tak seperti biasanya, malam ini aku belajar ditemani ayah karena ibu belum pulang juga, padahal jam sudah menunjukan pukul 20.00 WIB.
Assalamu’alaikum…” ucap ibu yang baru masuk rumah.
Wa’alaikumussalam…” jawab kami serentak.
Lho ibu, kenapa jam segini baru pulang?” tanya ayah.
Iya, tadi keluarga besar majikan ibu datang, jadi ibu pulangnya agak kemalaman,” jawab ibuku dengan lemas.
Wajah ibu terlihat pucat?!” tanyaku dengan penuh perhatian.
Mungkin ibu hanya lelah, Nak…” jawab ibuku dengan senyum kecil di bibirnya.
Ya sudah, kita tidur dulu, ini sudah malam,” ucap ayah sembari merapikan buku-buku pelajaran milikku.
Akhirnya kami bertiga beranjak masuk ke kamar untuk beristirahat. Aku masih tidur dengan ayah dan ibuku, tidur di antara mereka begitu terasa hangat. Aku yang sudah mulai terlelap samar-samar mendengarkan percakapan mereka.
Yah, ini di leher ibu ada benjolan kecil, tapi kok agak sakit ya?” tanya ibuku sembari memegang leher bagaian kirinya.
Mungkin itu gondong*) Bu.”
Iya, mungkin juga sih Yah.”
Coba besok kerumahnya mbah Karso, biasanya dia bisa menyembuhkan gondong, ya sudah sekarang tidur saja,” ucap ayah.
Keesokan harinya ibuku tidak berangkat bekerja karena badannya kurang sehat. Seperti yang disarankan ayah, ibu datang kerumah mbah Karso. Mbah Karso ini adalah tetanggaku, dia bukan seorang dukun atau orang pinter yang biasa berhubungan dengan dunia ghaib, dia hanya seorang kakek biasa yang memiliki kelebihan menyembuhkan penyakit gondong denagan cara tradisional.
Setelah satu minggu berlalu sakit dileher ibuku makin menjadi, benjolan-benjolan kecilnyapun masih tetap ada. Akhirnya ayah mengantarkan ibu ke puskesmas terdekat.
Pak sebaiknya istri anda dibawa ke rumah sakit saja, karena kami tidak begitu paham dengan penyakit istri Anda ini, kami masih ragu,” ucap seorang dokter.
Ayah mengikuti saran dokter itu untuk membawa ibu ke rumah sakit.
Benjolan pada leher istri bapak ini adalah tumor,” kata seorang dokter yang memeriksa ibuku
Innalillahii,” ucap ayah dengan kagetnya.
Ibu hanya menangis saat dokter mengatakan hal itu.
Lalu apa ini bisa disembuhkan, Dok…?”
Insya Allah bisa, ada dua cara untuk berusaha menyembuhkannya. Yang pertama adalah operasi pengangkatan tumor, dan yang kedua adalah dengan melakukan terapi, yaitu dengan di laser agar tumor tersebut bisa mati dan tidak tumbuh semakin banyak,” terang dokter itu.
Lalu berapa biayanya, Dok?!”
Untuk operasi sekitar 30 sampai 40 juta, sedangkan untuk laser biayanya 5 juta tiap terapi dan ini dilakukan sebanyak 15 kali.”
Ayah dan ibu pulang ke rumah dengan keadaan lemas, aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bertanya pada ibu, tapi ia hanya menangis, aku tak berani bertanya lagi. Sorenya ayah menjelaskan kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Mendengar penjelasan ayah aku pun hanya bisa menangis tersedu.
“Cobaan apa lagi ini? Kami sudah cukup susah dengan hidup miskin, sekarang Allah menambah beban ini dengan penyakit yang diderita istriku,” kata ayah sambil menangis.
“Mungkin Allah terlalu sayang dengan kita yah, sabar saja, pasti akan ada jalan keluarnya dari masalah ini,” jawab ibu yang juga menangis.
*****
Selama tiga bulan ini ibu hanya mengonsumsi obat-obatan yang dibeli di apotek untuk menahan rasa sakitnya. Aku tak tega setiap melihat ibu menangis kesakitan saat penyakitnya kambuh. Sebenarnya kami ingin ibu di operasi, tapi apa daya, kami tak akan mampu mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Ayahku hanya lontang-lantung tak pernah pulang membawa uang.
Semakin lama penyakit ibu semakin parah. Hanya obat-obatan yang dijadikan penahan rasa sakitnya untuk sementara. Obat-obatan yang dibeli inipun cukup menghabiskan banyak uang, ayah yang tak memiliki uang terpaksa pinjam sana-sini untuk membeli obat ibu.
Orang tua ibu adalah orang yang cukup kaya, mereka memiliki banyak uang, sehingga mereka ingin ibu dibawa pulang ke Jogja agar mereka bisa merawat ibu dengan layak. Tapi ayah tak menyetujuinya, ayah berjanji membawa ibu kerumah sakit untuk di operasi. Dengan uang hasil pinjaman akhirnya ibu dioperasi juga.
Keadaan ibu setelah di operasi masih sama, tak ada perubahan. Karena kondisi ibu yang masih sama seperti dulu, akhirnya ayah membawa ibu ke rumah sakit untuk di periksa. Ayah dan ibuku kembali terkejut saat dokter mengatakan bahwa tumor yang ada pada leher ibu belum semuanya terangkat, bahkan tumor itu sekarang tumbuh semakin banyak. Ia menyarankan agar ibu kembali di operasi.
Ayah tak mampu lagi membiayai pengobatan ibu, ia tak memiliki pilihan lain selain mengizinkan mertuanya membawa ibu ke Jogja untuk berobat. Memang berat bagi kami untuk berpisah dengan ibu, meski ini hanya sementara. Tapi tak mengapa jika ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan untuk kesembuhan ibu.
Sudah enam bulan lamanya ibu di sana, aku dan ayah baru mengunjunginya tiga kali. Saat kami berkunjung kesana keadaan ibu tidak tentu, adakalanya ia biasa saja seperti orang sehat, tapi terkadang ia juga mengis kesakitan. Nenek dan kakek tidak hanya membawa ibu berobat ke rumah sakit, tapi mereka juga mencari pengobatan alternatif untuk ibu. Tapi hasilnya nihil, sakit ibu tak kunjung sembuh.
Terakhir aku berkunjung ke Jogja ibu mengajakku berjalan-jalan dengan ayah, kakek, nenek dan keluarga besar di sana. Sepertinya ibu sangat bahagia saat bersama kami, ini terlihat dari senyumnya. Meski ia sedang sakit tapi ia tak menunjukan sakitnya di depanku, mungkin ia tak ingin melihatku bersedih.
Seperti biasa, saat aku akan pulang ke Pekalongan ibu mengecup keningku sembari mengelus rambutku yang terurai panjang.
“Nak, kamu belajarnya yang rajin ya, jangan jadi anak pemalas, harus jadi pekerja keras. Kamu harus nurut apa kata ayah, dan jangan jadi anak manja,” kata ibu lembut yang meneteskan air mata sembari mengelus rambutku.
“Iya Bu, Eva akan belajar giat, supaya bisa jadi orang sukses dan bisa membahagiakan ayah dan ibu,” kataku sammbil menatap ibu.
Hampir satu tahun ibu di sana dan sudah enam bulan aku tak menjenguk ibu ke Jogja, kami hanya berkomunikasi lewat telepon seluler. Setiap kali aku bertanya pada ibu tentang keadaannya pasti ia selalu menjawab bahwa ia baik-baik saja. Tapi setiap hari ayah selalu gelisah setelah mendapat kabar dari keluarga di sana. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tak ada yang mau berbicara jujur padaku.
*****
Esok aku ada kegiatan perkemahan, ini adalah kemah pertamaku dan aku terpilih menjadi ketua regunya. Ini cukup membuatku bahagia. Saat aku sedang mempersiapkan peralatan kemahku tiba-tiba ayah mengajaku untuk ke Jogja, katanya Ibu sangat merindukanku. Sehabis shalat maghrib kami langsung menuju ke Jogja. Larut malam kami sampai di sana. Setiba di sana ayah langsung menangis di depan sebuah keranda yang diletakkan diteras masjid. Aku tak tau apa-apa, ku ikuti langkah ayah perlahan, melihat siapa yang ada dalam keranda itu. Saat keranda di buka ternyata itu adalah ibuku. Ia sudah terbungkus kafan dengan rapi, wajahnya terlihat sangat cantik dengan senyumnya.
Tak ada yang bisa kuperbuat. Menangis… menangis… dan terus menangis…! Hanya itu yang aku lakukan di depan jenazah ibuku. Aku tak percaya kini ibuku telah tiada, Allah begitu menyayanginya Ia membawa ibu pulang kesisinya, mungkin karena Ia tak ingin melihat ibuku menderita. Enam bulan lalu, adalah hari terakhirku bersama ibu. Dan kecupan itu, adalah kecupan terakhir untukku. (*)
Kosa kata:
gondong : sejenis benjolan (bengkak) di sekitar leher, terasa pegal dan nyeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar